Jangan Gegabah Mengkafirkan Saudara Sesama Muslim
Media Orang Kampung (9/7/2012) – Tidak dibolehkan mengatakan atau
menuduh orang yang telah nyata keislamannya sebagai orang fasik atau kafir,
sebagaimana tidak dibenarkan pula untuk melaknat dan menyatakan mereka keluar
dari agama kecuali dengan bukti yang nyata. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,”Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, ‘’Wahai Kafir’’. Maka
sungguh salah satu dari keduanya akan mendapatkan predikat itu”. (Hadist
Bukhari no 6103 dan 6104). ”Siapa saja
yang mengkafirkan seseorang, niscaya salah satu dari keduanya adalah seorang yang
kafir”. (musnad Imam ahmad 2/44, Shahih). ”Tidaklah seorang itu menuduh orang lain dengan tuduhan fasik atau
kafir, melainkan tuduhan itu akan kembali kepadanya; jika tuduhan itu tidak
benar”. (Hadist Bukhari no. 6045).
Hadits-hadits tersebut memberikan peringatan kepada kaum muslimin agar berhati-hati dalam menuduh saudaranya sebagai orang kafir. Tidak boleh bagi seseorang mengkafirkan seorang muslim, hanya karena kesalahan atau kemaksiatan yang ia buat, walaupun maksiat itu tergolong kepada dosa-dosa besar.
Hadits-hadits tersebut memberikan peringatan kepada kaum muslimin agar berhati-hati dalam menuduh saudaranya sebagai orang kafir. Tidak boleh bagi seseorang mengkafirkan seorang muslim, hanya karena kesalahan atau kemaksiatan yang ia buat, walaupun maksiat itu tergolong kepada dosa-dosa besar.
Sebagian gerakan dakwah memproduk
beberapa buah pikiran yang sangat berbahaya: begitu mudahnya mengkafirkan sesama Muslim. Akhirnya membuat mereka
menyimpang dari jalan yang telah ditempuh oleh para salaf. Terkadang mereka
adalah orang orang yang memiliki niat baik dan ikhlas untuk membangun Islam,
tetapi hal itu tidaklah cukup menjadikan mereka sebagai orang-orang yang
selamat dan beruntung disisi Allah Subhanahu
wataala. Tidaklah cukup hanya sekedar niat dan kesungguhan dalam beramal
dengan al-Qura’n dan as-Sunnah serta menda’wakan keduanya, tetapi haruslah
menggandeng seluruhnya dengan pola pemahaman manhaj yang lurus dan selamat.
Jika seorang muslim telah meluruskan aqidahnya berdasarkan al-Qur’an dan
sunnah, maka tidak diragukan lagi bahwa ibadah dan akhlaknya juga akan menjadi
baik. Jika tidak, maka tinggallah cita-cita mereka itu sebagai angan-angan
belaka, dan benarlah perkataan seorang penyair: ”Engkau mengharapkan keselamatan, tapi engkau tidak meniti jalannya.”
(Lihat kitab Fitnahtu at-Takfir wa hukmu
ma anzallallah, Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Tahqiq Syaikh Albani,
pernebit: Darul Wathan-Riyadh, 2002)
Sikap semberono yang paling menonjol
adalah mengkafirkan sesama Muslim karena mereka tidak menerapkan syari’at Islam.
Sikap ini menjadikan signal seolah-olah mereka yang tidak mengkafirkan “diragukan”
ke-Islamannya. Sedangkan mereka yang berani mengkafirkan dianggap militant dan memenuhi syarat sebagai
Muslim.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Ringkas kata,
wajib bagi yang ingin mengintrospeksi diri agar tidak berbicara dalam masalah
ini kecuali dengan ilmu dan keterangan dari Allah. Dan hendaknya berhati-hati
dari perbuatan mengeluarkan seseorang dari Islam semata-mata dengan
pemahamannya dan anggapan baik akalnya. Karena mengeluarkan seseorang dari
Islam atau memasukkan seseorang ke dalamnya termasuk perkara besar dari
perkara-perkara agama ini.” (Ad-Durar
As-Saniyyah, 8/217, dinukil dari At-Tahdzir
Minattasarru’ Fittakfir karya Muhammad bin Nashir Al-’Uraini, hal. 30)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata:
“Pemberian vonis kafir dan fasiq bukan
urusan kita, namun ia dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena ia
termasuk hukum syariah yang referensinya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka
wajib untuk ekstra hati-hati dan teliti dalam permasalahan ini, sehingga
tidaklah seseorang dikafirkan dan dihukumi fasiq kecuali bila Al-Qur’an dan
As-Sunnah telah menunjukkan kekafiran dan kefasikannya. Dan hukum asal bagi
seorang muslim yang secara dzahir nampak ciri-ciri keislamannya adalah tetap
berada di atas keislaman sampai benar-benar terbukti dengan dalil syar’i
tentang adanya sesuatu yang menghapusnya. Tidak boleh bermudah-mudahan dalam
mengkafirkan seorang muslim atau menghukuminya sebagai fasiq.” (Al-Qawa’idul Mutsla Fi Shifatillahi wa
Asma-ihil Husna, hal. 87-88)
Dalil-dalil yang nyata yang berasal dari nash wahyu tersebut
tidak boleh dimentahkan begitu saja dengan fatwa seorang “ustadz” atau “kiai” tanpa
ada dalil. Ini kebiasaan sebagian gerakan radikal yang suka membenturkan dalil
dengan fatwa-fatwa mereka sendiri seolah-olah mereka lebih hebat dari
ulama-ulama tersebut. Akhirnya kebenaranpun ditinggalkan karena fatwa
manusia yang timpang.